Dari segi limu, komunikasi sejak zaman
Yunani mulai digunakan manusia untuk mempermudah terwujudnya
kepentingan mereka. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu retorika. Sejarah
komunikasi menjadi sebuah ilmu tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Sama halnya dengan cabang ilmu lain, ilmu komunikasipun harus
melalui penelitian-penelitian sehingga pada waktunya baru dapat disebut
sebuah ilmu. Menurut Sendjaja (1997), ilmu komunikasi sudah
mulai diajarkan pada perguruan tinggi akhir tahun 1940-an dengan adanya
Akademi Penerangan di Yogyakarta yang kemudian menjadi jurusan
Publisistik di Fisipol UGM mulai tahun 1955. Perkembangan dunia
komunikasi di Indonesia memang terbilang lebih lambat daripada negara
seperti Amerika. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yaitu bahwa di
Amerika: memiliki kebutuhan praktis terhadap kajian komunikasi,
perhatian yang besar terhadap penelitian ilmu komunikasi, serta adanya
pengujian-pengujian kembali (diseminasi) sehingga komunikasi mengalami
proses kemajuan yang diharapkan1.
Secara lebih spesifik, seiring dengan
perkembangan ilmu komunikasi, fungsi komunikasi juga mengalami
dinamika. Ketika retorika mengalami kejayaan pada 5 SM, kaum sofis
Yunani menggunakan pidato untuk mempengaruhi khalayak dan mendapatkan
simpati mereka. Perlu diingat saat itu sistem politik mereka adalah
demokrasi langsung. Kepandaian para pemimpin berpidato dapat
mempengaruhi wibawa di mata rakyat. Pada masa Perang Dunia II, bentuk
komunikasi berupa pidato lebih mendominasi dibanding bentuk komunikasi
lainnya. Pidato digunakan oleh Adolf Hitler untuk mengunggulkan
bangsanya sendiri sekaligus menakut-nakuti lawan2. Pada intinya fungsi komunikasi kala itu bertujuan untuk mempengaruhi orang lain.
Di Indonesia, komunikasi mengalami
pasang surut. Perubahan fungsi komunikasi lebih terekspos semenjak masa
Orde Baru hingga reformasi tahun 1998. Di masa Orde Baru, media-massa
sebagai salah satu sarana komunikasi banyak mendapat dikte dari
penguasa untuk mengendalikan konflik sosial yang kerap terjadi melalui
berita-berita. Pers lebih banyak mengungkapkan realitas psikologis atau
pendapat daripada fakta di lapangan. Fakta-fakta tersebut banyak
disembunyikan agar pers tidak mendapat teguran dari penguasa3..
Jadi tidak salah bila orang-orang menganggap pers saat itu hanya
merupakan alat pengusa. Fungsi-fungsi komunikasi yang seharusnya tidak
dapat berjalan. Sekali media melakukan sebuah tindakan yang tak sesuai
kehendak pemerintah terpaksa dibredel, seperti yang dialami harian
TEMPO kala itu.
Memasuki masa transisi demokrasi atau
lebih tepatnya reformasi, keterbukaan menyampaikan pendapat mendapat
dukungan dari semua pihak. Pers seakan bebas dari ikatan yang selama
bertahun-tahun membelenggu mereka. Pers memenfaatkan fungsi kontrol
mereka untuk menyerang balik pemerintah, membuka semua kebobrokan
pemerintah yang lalu. Hal tersebut membawa dampak positif, namun juga
tidak dapat dihindarkan dari dampak negatifnya. Memang reformasi
membuka kesempatan pers sebagai kontrol pemerintah, Namun kecenderungan
negatif muncul ketika pers berpihak kepada kelompok tertntu, memanaskan
situasi yang terjadi, menonjolkan unsur kekerasan di beberapa
pemberitaan di media massa. Sehingga terkadang menimbulkan konflik yang
lebih serius4.
Perkembangan komunikasi di Indonesia
mendorong semakin banyak kebutuhan akan informasi. Dulu, stasiun TV di
Indonesia hanya dapat dihitung dengan lima jari, sekarang menjamur
bermacam stasiun TV swasta baik nasional maupun lokal di daerah-daerah.
Fungsinyapun kini meluas dengan adanya penyiaran yang bervariasi.
Masyarakat lebih terbuka terhadap pemerintah dengan adanya
dialog-dialog interaktif. Lalu bagaimana fungsi komunikasi terhadap
pembangunan? Fungsi komunikasi dengan komunikatornya memberi kontribusi
terhadap pembangunan nasional karena secara umum mengubah sikap dan
perilaku manusia Indonesia sebagai peran pembangunan5.
Fungsi pers pada dasarnya adalah: to
inform, to educate, to entertain, dan to influence. Keempat fungsi
tersebut sejalan dengan fungsi-fungsi komunikasi. Komunikasi sendiri
memiliki fungsi yang berbeda sesuai konteks komunikasi, yaitu:
Komunikasi sosial, digunakan untuk pernyataan konsep, eksistensi diri,
dan memperoleh rasa kebahagiaan. Komunikasi ekspresif, digunakan untuk
menyalurkan emosi dan pendapat. Komunikasi ritual, biasanya digunakan
secara kolektif seperti ritual keagamaan. Sedangkan komunikasi
instrumental, memiliki tujuan-tujuan tertentu mengacu pada
fungsi-fungsi pers di atas. Fungsi utama komunikasi sebenarnya adalah
untuk ‘membujuk’6. Sebagaimana yang dikatakan Carl I Hovland dalam bukunya Personality and Persuabilities
menyebutkan bahwa efek persuasi bersumber kepada perubahan sikap,
pendapat, persepsi, serta efek itu sendiri. Namun mudah atau tidaknya
seseorang terpengaruh tergantung pula kepada apa yang ada dalam
individu itu sendiri.
Euforia kebebasan pers di Indonesia
berlangsung begitu cepat. Semua orang menginginkan hukum ditegakkan dan
mengubah seluruh sendi-sendi kemasyarakatan yang dilanggar ketika Orde
Baru berkuasa. Hanya berselang beberapa tahun saja, semangat itu
meluntur tanpa menghasilkan perbaikan yang diinginkan. Apakah ini
sebuah tanda bahwa rakyat telah bosan dan lelah terus memperjuangkan
tujuan negara yang sering mereka gelorakan di masa reformasi?
Pers yang dulu pernah bercita-cita mengubah bangsa dengan kode
etiknya ternyata malah mengeksploitasi kebebassan pers sebagai senjata.
Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia tertulis:
“ Wartawan
Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,
sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas kejahatan susila”
pada butir lain juga disebutkan:
“ Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”
Namun bila melihat kenyataan saat ini, begitu banyak penyimpangan
yang dilakukan oknum pers. Mulai dari penyebaran berita yang belum
pasti kebenarannya (sering disebut gossip) hingga perluasan pengaruh
melalui media massa. Pada akhirnya sulit untuk menyatakan suatu berita
benar-benar fakta yang bersifat objektif atau hanya berdasarkan
subyektivitas dan kepoentingan penulis berita. Wriston (1996:1) “ Revolusi informasi sedang mengubah bentuk dan arah peristiwa-peristiwa nasional dan internasional secara mendasar.”
Revolusi informasi adalah ancaman bagi
struktur kekuasaan dunia. Artinya siapa yang menguasai informasi bukan
tidak mungkin ia akan menguasai dunia dengan pengaruh yang dapat
ditimbulkannya melalui proses komunikasi. Bila kita tidak mengikuti
arah perubahan maka kita akan semakin tenggelam hingga tak mampu lagi
menahan pengaruh dari dunia luar.
Fungsi komunikasi akan terus berkembang
selama ilmu komunikasi itu ada. Dan komunikasi akan terus ada selama
manusia masih ada seperti hubungan yang telah disebutkan di awal
penulisan. Apalagi sekarang perubahan terjadi begitu cepat dan
lagi-lagi karena dampak globalisasi. Agar tidak terpengaruh aspek
negatif globalisasi, apa yang dapat kita lakukan?
Kembali memahami fungsi komunikasi
merupakan salah satu solusi yang tepat. Karena dengan kita memahami apa
fungsi komunikasi, kita dapat menentukan langkah-langkah apa yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap tantangan dalam
proses bernegara, mengetahui dampak negatif, dan menghindarkannya dari
tujuan berkomunikasi. Dengan memahami fungsi komunikasi, kita juga
dapat mengembalikan peran komunikasi sebenarnya, sehingga segala
sesuatu yang menghambat proses komunikasi dapat dihilangkan.
***
Referensi
Mulyana, Deddy.2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy.2004. Komunikasi Populer, Kajian Komunikasi dan Budaya. Bandung:Pustaka Bani Quraisy.
Ngurah Putra, IG.___. “Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Catatan di Sekitar Kendala”
Uchjana Effendy, Onong.1994. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:Remaja Rosdakarya.
1 “Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Catatan di Sekitar Kendala” oleh IG. Ngurah Putra.
2Onong Uchjana Effendy,Imu Komunikasi: Teori dan Praktik(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1994),hal.57.
3Deddy Mulyana,Komunikasi Populer, Kajian Komunikasi dan Budaya(Bandung:Pustaka Bani Quraisy,2004),hal.121 et.seqq.
4ibid.,hal.125
5Effendy,op Cit,hal.94
6 Deddy Mulyana,Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar(Bandung;Remaja Rosdakarya,2004),hal.5 et seqq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
V